Relativitas Kesedihan


Berbicara mengenai kesedihan, manusia mana dalam kehidupan ini yang tidak pernah merasakannya, bahkan Allah ta'ala menjadikan rasa sedih ini sebagai parameter kelulusan bagi orang-orang yang sabar saat mereka mampu menanganinya dengan ketulusan hati."Dan sungguh akan Kami coba kalian dengan ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta, jiwa, serta buah-buahan. Lalu berilah kabar gembira bagi orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila diri mereka tertimpa musibah maka mereka akan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk." (QS. Al-Baqarah : 155)

Namun pertanyaan besar akan muncul setelahnya, bagaimana cara kita menghadapi rasa sedih..? Pertanyaan inilah yang agak sulit untuk bisa dijawab dengan baik karena perbedaan sumber kesedihan dan variabel lainnya sangat mempengaruhi jawaban tersebut.

Dan saya memiliki sebuah cerita, bukan tentang diri saya (walau saya sempat 'nongol' sekilas di awal episodenya). Dan dari peristiwa inilah saya jadi berpikir ulang mengenai teori relativitas kesedihan. Ini bukanlah teori terkenal sebagaimana teori relativitas yang terkenal dan dicetuskan oleh Albert Einsten, namun ini murni hipotesa yang perlu diuji lagi kebenaran dan hakikat ilmiahnya.

Inti dari teori ini adalah bahwa kesedihan itu bukanlah suatu hal yang hakiki terjadi karena dia hanya bersifat wahyiah (perasangka), dan dia akan hilang bersama dengan kesadaran pribadi yang muncul dari diri orang yang bersangkutan.

Adakah dalil dari ucapan ini dalam Al-Qur'an? Maka saya akan lutip sebuah ayat yang berisikan sifat orang yang beriman, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : 'Tuhan kami adalah Allah!' Kemudian mereka beristiqomah (dalam ucapannya), maka mereka tidak akan ditimpa rasa takut dan tidaklah mereka termasuk orang-orang yang bersedih hati." (QS. Al-Ahqaf)

Lalu di tempat lain Al-Qur'an mengidentikan rasa takut dengan godaan setan, "Sesungguhnya demikianlah setan menakut-nakuti para pengikutnya.."

Dan ini saya rasakan ketika saya kehilangan dompet di daerah Buper Ragunan. Saat itu jujur secara pribadi saya merasa sangat sedih sekaligus kecewa karena ada seorang yang tega mengambil 'dompet kosong' saya. Memang dompet itu kosong dari uang, namun hal yang lebih berharga di dalamnya lah yang membuat saya harus sedikit lebih bersedih. Diantara hal yang terdapat di dalamnya adalah KTP, SIM, dan ATM. Saya pikir saya cukup pantas untuk bersedih karena biaya dan proses yang harus saya bayar untuk membuat kembali barang-barang tersebut tidaklah murah.

Namun saya baru sadar bahwa rasa sedih saya atas kehilangan dompet itu tidaklah seberapa dan tidak ada nilainya saat saya menghadapi dua berita lain yang cukup menyedihkan, bukan hanya untuk saya namun juga bagi orang lain. Yang pertama adalah berita gagalnya salah seorang teman saya di dalam ujian. Padahal tidak ada seoranpun diantara saya dan teman-teman di kampus yang pernah memperkirakan hal ini.

Bahkan ibu dapur asrama sampai dibuat bersedih dengan berita ini dan harus datang sendiri ke hadapan papan pengumuman hasil ujian yang berbahasa arab. Dengan rasa gusar dan penasaran ibu dapur menanyakan hasil yang diperoleh teman kami ini kepada seorang mahasiswa yang ada di sana, dan hasilnya adalah kenyataan pahit kegagalan mahasiswa tersebut dalam ujian dan statusnya yang ter-DO.

Ibu dapur pun kembali ke dapur asrama dengan linangan air mata, mengingat beliau harus berpisah dengan salah satu mahasiswa kesayangan yang sangat sering membantunya di dapur. Bukan, bahkan beliau sering membantu kami semua untuk menertibkan dan menangani kebersihan asrama. Beliau adalah salah satu sahabat terbaik yang kami punya.

Bahkan beliau adalah salah seorang mahasiswa aktif yang memiliki semangat belajar besar, saya kemarin biasa bergadang dengan beliau dan beberapa sahabat yang lain untuk membahas sebuah pelajaran. Itulah mengapa saya harus ternganga ketika membaca papan pengumuman hasil ujian tersebut.

Dan berita kedua datang ketika subuh hari sabtu, saya mendapatkan sebuah sms yang berisi wafatnya seorang Ustadz besar yang banyak menerangi umat dengan ilmu dan semangatnya. Bahkan orang-orang hebat yang saya kenal banyak belajar hikmah-hikmah kehidupan dan perjuangan dari beliau ini.

Setelah sekian lama berjibaku berselimut rasa sakit dalam masa komanya di salah satu rumah sakit Balikpapan, beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya dan menghadap ke rahmatullah untuk selamanya. Sebuah rasa sedih yang tak tertahankan bila membayangkan bagaimana banyakorang yang banyak berkontribusi untuk masyarakat pergi untuk selama-lamanya.

dua kabar diatas menyadarkan saya bahwa rasa sedih itu relatif, dia bisa hilang di saat-saat tertentu, semisal rasa sedih saya ketika dompet saya dicuri hilang begitu saja saat mendengar dua kabar diatas. Jadi rasa sedih yang lebih besar mengahpus rasa sedih yang lebih kecil. Andaikan saja rasa sedih itu bersifat hakikat maka tentu dia tidak akan hilang begitu saja walau dihadapkan pada masalah seberat apapun.

Sebuah ucapan dari sahabat saya yang juga menyadarkan saya akan hal ini, ketika beliau mengajak kami menonton film sedih untuk mengahapus rasa sedih karena harus kehilangan seorang sahabat di kampus. (ski)

Posting Komentar